A. Pendahuluan
Secara
konseptual, komponen-komponen pokok yang ada di dalam pembangunan politik
adalah bahwa pemerintah kita harus selalu mampu menanggapi setiap perubahan
yang ada dalam masyarakat, sebab suprastruktur dan infrastruktur politik yang
ada memang efektif dan berfungsi secara optimal, yang kesemuanya didukung oleh
warganegara yang dinamis dan berada dalam naungan persamaan hukum dan
perundang-undangan. Pencapaian hal-hal tersebut biasanya selalu akan
menimbulkan permasalahan yang menyangkut identitas (jati diri) bangsa,
legitimasi kekuasaan, partisipasi anggota masyarakat, serta menyangkut
pemerataan hasil-hasil pembangunan melalui sistem yang efektif yang menjangkau
keseluruh lapisan masyarakat. Setiap kali kita berhasil mengatasi suatu
permasalahan tersebut maka berarti kita “maju” di dalam melakukan pembangunan
politik di dalam mengembangkan sistem demokrasi. Sejak awal Indonesia berdiri,
kehidupan politik dan hukum diwarnai begitu rupa, tidak dalam pengertian hingar
bingarnya demokrasi, tetapi justru secara mencolok dapat dikatakan oleh
sentralisasi kekuasaan pada satu tangan, meskipun sebenarnya konstitusi telah
memberi peluang yang cukup besar kepada hukum.
Secara
umum proses perjalanan bangsa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu, periode Orde
Lama dan periode Orde Baru. Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi
identitas, kebanggaan nasional dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun
demikian, Orde Lama pula yang memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya
identitas tersebut (Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa
pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional kita adalah; Pemberontakan
PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950,
Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965. Namun sejarah juga menunjukkan rezim Orde
Baru yang dianggap memberikan perbaikan dan menyelamatkan keadaan bangsa saat
itu selama masa pemerintahannya melakukan pemasungan terhadap hak-hak politik
warga negara, pembangunan memang dapat berjalan dengan cukup baik dimana
tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan pernah mencapai 7 % (tujuh persen) namun
keberhasilan itu hanya bersifat semu karena semua pembangunan dibiayai dari
hutang luar negeri yang berakibat timbulnya krisis moneter dan tumbuh sehatnya
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
B. Pembahasan
Sejak
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak
kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dalam
perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas,
paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan
perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.
Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak
periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945
sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya tonggak pemerintahan
era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik
Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur
politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.
Konfigurasi
politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam
suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang
konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik
melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada
masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang
terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi
feodalisme. Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri
tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas
landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan dengan
pengharapan Indonesia dapat menuju tahap kedewasaan (maturing society) dan
selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.
Indonesia
menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem
politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga
bernama Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu
DPR yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD
yang anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah
diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya
masing-masing.
Lembaga
eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet. Kabinet di
Indonesia adalah Kabinet Presidensiil sehingga para menteri bertanggung jawab
kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen.
Meskipun demikian, Presiden yang diusung oleh Partai juga menunjuk sejumlah
pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga
stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di
Indonesia. Namun pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh Menteri tanpa
portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya).
Lembaga
Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan
administrasi para hakim. Meskipun demikian
keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan.
Sistem
Politik berarti mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam
strutkus politik dalam hubungan satu sama lain yang menunjukkan satu proses
yang langgeng. Sistem Politik Indonesia berarti
:
1. Sistem
politik yang pernah berlaku di Indonesia (masa lampau)
2. sistem
politik yang sedang berlaku di Indonesia (masa sekarang)
3. Sistem
politik yang berlaku selama eksistensi Indonesia masih ada (masa yang akan
datang)
Di
dalam dunia perpolitikan yang terjadi di Indonesia, kalau semasa orde lama
berbagai percobaan sistem kenegaraan pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno,
mulai dari percobaan adopsi demokrasi ala barat yang puritan hingga demokrasi
terpimpin. Namun, ketika orde lama yang dimotori Soekarno tumbang, naiklah
sebuah orde yang dimotori oleh pihak militer ke jenjang kekuasaan pemerintahan
yang dinamakan orde baru. Sesuai dengan jiwa orang-orang yang berada di balik
layar, maka pemerintahan yang bergaya militer dan berciri-khaskan kebapakan
(komandan) serta terkurungnya berbagai kebebasan madani mulai berkembang.
Sejarah
Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di
dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa
Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses
politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang
berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka,
karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan
tekanan.
Dalam
melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja
seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan
tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan
sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu
pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses
politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem
adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan
mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para
pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan
diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik
dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik
melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa
besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan
lingkungan internasional.
Pengaruh
ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa
dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan
internasional.
Masa
transisi dalam sebuah konstalasi politik negara merupakan periode rekonsolidasi
antara kekuatan politik yang menghendaki perubahan. Rekonsolidasi dilakukan
dalam level elite sekaligus upaya pelibatan basis massa rakyat sebagai pemegang
legitimasi negara. Masa transisi merupakan periode menentukan dalam sebuah
perkembangan politik, sehingga membutuhkan sebuah konsistensi, energi ekstra
dan konsolidasi dari kelompok progresif. Sebab, rekonsolidasi tidak hanya
sekadar menyatukan potensi kekuatan kelompok progresif, yang tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana mengantisipasi kekuatan status quo (konservatif).
Bahkan, mengawal sebuah perubahan jauh lebih penting dari memulai perubahan.
Indonesia setidaknya telah mencatat dua era transisi yang penting, yakni era
peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi.
Peralihan
rezim Orde Lama ke Orde Baru dalam skop nasional selama ini dipahami melalui
buku-buku teks yang memuat kronologi sejarah nasional. Penulisan sejarah yang
‘monolog’ dan cenderung pro-pemerintah (buku putih Orde Baru). Sedangkan proses
jatuhnya Orde Baru yang masih digolongkan sebagai sejarah kontemporer dapat
diakses secara luas dan variatif. Indonesia yang menganut sistem negara
kesatuan, dalam proses meraih legitimasinya hingga saat ini, kerap dihadapkan
pada permasalahan disintegrasi. Kondisi geografis yang terdiri dari ribuan
pulau, realitas multikultur, etnis, suku, dan agama menjadi tantangan
tersendiri dalam menjaga kukuhnya integritas nasional. Dalam tinjauan historis,
proses konsolidasi para pemuda dapat terwujud melalui ikrar Sumpah Pemuda pada
tahun 1928, yang selanjutnya menjadi bekal peneguhan visi mewujudkan
kemerdekaan, hingga lahirnya konsep negara kesatuan. Perjalanan sejarah
lahirnya negara Indonesia lahir melalui kesamaan visi melepaskan diri dari
imprealisme sekaligus merupakan wujud ikatan emosionil sebagai bangsa bekas
jajahan Belanda.
Ciri
Orde Lama, yang dilakukan pada masa pemerintahan Soekarno adalah Yang
Pertama, sistem Presidensial dengan artian Presiden sebagai kepala negara
yang berjalan pada setiap priodik masa jabatan dan keseimbangan terhadap
pemerintah dan rakyat. Yang Kedua, sistem Parlementer dengan artian
perdana mentri sebagai kepala negara, tetapi ada kelemahannya yakni masa
jabatannya sangat singkat dan pemerintahannya tidak stabil adapun kelebihannya
pengakuan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat besar. Yang
Ketiga, tentang Demokrasi Terpimpin dengan artian menjadi kepala negara
seumur hidup dan hampir pemerintahannya sangat otoriter. Adapun kegagalan dan
kelebihan pada Orde Lama ada, terutama kegagalan Orde Lama pada pemerintahan
Soekarno adalah masalah ekonomi yang kian turun, stabilitas politik-keamanan
sangat kurang, dan konstitusi yang tidak komitmen. Adapun keberhasilan pada
Orde Lama adalah nation building yang sangat kuat dan diplomasi luar-negri yang
sangat besar terhadap dunia. Akan tetapi menurut para politik ini semuanya
gagal dalam pemerintahan Orde Lama.
Ciri
Orde Baru, yang dilakukan pada masa pemerintahan Soeharto adalah Yang
Pertama, wawasan kebangsaan yang sangat lemah dan bersifat dogmatis atau
doktrin yang terlalu berlebihan. Yang Kedua, Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme yang meraja lela. Yang Ketiga, jiwa dan bathinnya yang
kering. Adapun kegagalan dan kelebihan pada Orde Baru ada, terutama kegagalan
Orde Baru pada pemerintahan Soeharto adalah ketidakadilan dalam sosial baik
pemerintah maupun rakyat jelata sekalipun sehingga timbulah korupsi pada jiwa
bangsa ini, kurangnya membangun keterbukaan politik. Adapun keberhasilan pada
Orde Baru adalah pembangunan fisik, yang amat disayangkan ialah tidak melihat
sisi bathin masyarakat pada masa itu, pertumbuhan ekonomi yang cukup baik saya
kira pada era 1980 hingga 1996-an masyarakat masih merasakan rupiah pada waktu
itu sampai kepada tahap no urut 8 besar, itupun masih ada uang inggris yang
tinggi pada waktu itu, lalu stabilitas politik-keamanan yang sangat kuat
dibandingkan pada masa Orde Baru.
B.1. Masa Peralihan Orde Lama ke Orde Baru
Situasi
perpolitikan nasional menjelang runtuhnya Orde Lama, ditandai dengan
pertarungan perebutan pengaruh dan upaya penciptaan hegemoni pada pemerintahan.
Kekuatan yang dominan dan memiliki pengaruh, diantaranya adalah Militer
(Angkatan Darat), Masyumi, PNI, PKI, dan Soekarno. Namun, perkembangan situasi
politik membawa perubahan yang lebih cepat. Semula berhembus isu Dewan Jenderal
yang berada dalam tubuh Angkatan Darat dan dituduh akan melakukan kudeta.
Peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S) telah membuka peta politik
menjadi semakin teransparan. Saat itu, PKI menjadi satu-satunya kelompok yang
dituduh sebagai dalang dari upaya kudeta tersebut.
Puncak
dari konstalasi politik tersebut menggiring PKI tertuduh sebagai dalang dan
pelaku pemberontakan. Akibatnya, PKI tidak saja terdepak dari kedudukan politiknya
di kabinet maupun di parlemen. Bahkan, militer di bawah kendali Soeharto
bersama kelompok massa demonstran dari kalangan mahasiswa dan pelajar (KAMMI
dan KAPPI) seakan terhipnotis terbawa isu untuk menghancurkan PKI dan jaringan
Ormasnya.
Peralihan
Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi dalam tinjauan geopolitik
Indonesia makro adalah fakta pengulangan sejarah yang menempatkan sosok
presiden sebagai subyek sekaligus obyek perubahan. Namun, secara kontekstual
masing-masing memiliki faktor determinisme kausalitas yang berbeda.
Praktik
komunikasi politik selalu mengikuti sistem politik yang berlaku. Di negara yang
menganut sistem politik tertutup, komunikasi politik pada umumnya mengalir dari
atas (penguasa) ke bawah (rakyat). Komunikasi politik semacam itu menerapkan
paradigma komunikasi top down. Penerapan pendekatan ini memang bukan
satu-satunya, namun yang dominan dilaksanakan adalah pendekatan top down. Untuk
mewujudkan paradigma tersebut, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa
bersifat transmisional.
Komunikasi
politik semacam ini banyak dipraktikkan para penguasa ketika Indonesia menganut
sistem politik tertutup. Ketika rezim Orde Lama berkuasa, pesan politik yang
mengemuka di media massa pada umumnya berisi konflik, kontradiksi yang
antagonistik, dan hiperbola. Pesan-pesan politik semacam itu kemudian jarang
ditemui di media massa semasa Orde Baru berkuasa. Pada era ini, pesan-pesan
politik lebih banyak bermuatan konsensus dan kemasan eufemisme. Meski pada dua
era itu berbeda dalam penekanan pesan politiknya, namun hakikatnya tetap
menerapkan komunikasi satu arah (linear).
B.2. Konfigurasi politik
era orde lama
Presiden
Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya
pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun
1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali
UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS.
Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah
gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya. Pada masa ini Soekarno memakai
sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal
5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab
menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak
memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini
yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini
berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa
dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada
waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh
dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik
yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula
kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif
ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu
bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”.
Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive”
(berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara
berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu
kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi
yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).
Sistem
“Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai
politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini terus
berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan theokratisme
Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu 1955 melahirkan empat partai
besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran
politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun
dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
1. Gerakan separatis pada tahun
1957
2. Konflik ideologi yang tajam
yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di
bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan
theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara
Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli
1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional
yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata
politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya
memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde
Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber
hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada
perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga
merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah
memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita
bayar dengan biaya tinggi.
B.3. Konfigurasi politik era orde baru
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30
September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian
orde dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno
dituntut untuk menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal
Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara
dan melindungi Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian
dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan
sebagai media pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS
yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang
tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya
tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang,
setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili
dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru. Pada masa
Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program
politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali
dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam
konsensus nasional, yaitu :
1. Pertama berwujud kebulatan
tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus
utama;
2. Sedangkan konsensus kedua
adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya,
konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir
antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam perumusan konsensus
nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa. Konsensus
ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966, sejak itu konsensus
nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain penyederhanaan partai politik dan
keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR. Berdasarkan semangat
konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat melakukan tekanan-tekanan
politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas. Terlebih kepada
PNI yang nota bene partai besar dan dinilai memiliki kedekatan dengan rezim
terdahulu. Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan
terhadap partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh
Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah
Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama
tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, masyumi harus mengganti
nama sehingga terkesan sebagai partai baru.
Pada
Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga tinggal
sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta
pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya (Golkar) menjadi peserta
pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi
fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula pada 20 Oktober 1984 mendirikan
Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain
memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir
mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang
dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk organisasi seperti SOKSI,
KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle Unit “ rezim orde baru.
Pasca
pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan partai yang dilandasi
penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai politik selalu menjadi
sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini menimbulkan sikap Pro dan Kontra
karena dianggap membatasi atau mengekang aspirasi politik dan membentuk
partai-partai hanya kedalam golongan nasional, spiritual dan karya. Pada tahun
1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) sudah dapat diterima oleh
partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3/1975 tentang
Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini berlangsung hingga lima kali
Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997).
B.4. Partai Politik
Melihat
sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai politik mempunyai peran dan
posisi yang sangat penting sebagai kendaraan politik sekelompok elite yang
berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan kebebasan.
Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan adanya empat fungsi partai
politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:
1. Sarana komunikasi politik
2. Sosialisasi politik
3. Sarana rekruitmen politik
4. Pengatur konflik.
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dimana
partai politik berperan dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests
Articulation) dimana berbagai ide-ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat
mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi
politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan
strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen
kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai
pengatur konflik, partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang
berbeda-beda. Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai
pembuat kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha
untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah mendapatkan
kekuasaannya yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai dan
memberikan pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam
suatu pemerintahan.
Dengan
demikian, fungsi partai politik secara garis besar adalah sebagai kendaraan
untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan hak memilih dan hak
dipilihnya dalam kehidupan bernegara. Selanjutnya, sejarah kepartaian di
Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan
bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah tersebut dapai dilihat
bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan untuk: (a) untuk menghapuskan
penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya dan didunia pada umumnya
(kolonialisme dan imperialisme); (b) untuk mencerdaskan bangsa Indonesia; (c)
untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu
ditentukan sasaran antara, yaitu;
· Kemerdekaan
di bidang politik, ekonomi dan budaya nusa dan bangsa;
· Pemerintahan
Negara yang demokratis;
· Menentukan
Undang-Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang
sesuai dengan nilai-nilai sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
Dari perjalanan sejarah kehidupan politik Indonesia tersebut,
secara umum terdapat dua ciri utama yang mewarnai pendirian dan pergeseran
masing-masing organisasi politik dan golongan fungsional yang ada, yaitu:
· Kesamaan
Cara untuk melaksanakan gerak kehidupan politik, organisasi politik dan golongan
fungsional, yaitu didasarkan pada persatuan dan kesatuan yang bersumber pada
kepentingan nasional dan bermuara pada kepentingan internasional. Untuk
mewujudkan hal-hal tersebut ditempuh melalui prinsip adanya kedaulatan rakyat Indonesia.
· Sedangkan
landasan (faham, aliran atau ideologi) yang digunakan untuk mewujudkan
persatuan dan kesatuan serta kedaulatan rakyat tersebut berbeda satu sama lain.
Kemudian, keberadaan partai politik-partai
politik ini sesungguhnya untuk meramaikan pesta demokrasi sebagai tanda adanya
atau berlangsungnya proses pemilihan umum. Dalam proses pemilihan umum ini,
setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan pemilihan umum di Indonesia, antara
lain: pertama, memungkinkan terjadinya pergantian pemerintah secara damai dan
tertib; kedua, kemungkinan lembaga negara berfungsi sesuai dengan maksud UUD
1945; dan ketiga, untuk melaksanakan hak-hak asasi warga negara.
Dengan demikian, antara partai politik dengan pemilihan umum bagaikan dua sisi
dalam mata uang yang sama. Mereka tidak dapat
dipisahkan satu sama lain dikarenakan keduanya saling bergantungan dan mengisi.
B.5. Partai Politik dalam
Era Orde Lama
Pada
masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai
dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal
bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta
perorangan.
Pada
masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia
dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13
Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran
partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai
yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut:
PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun,
setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan
berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini
tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan
politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan
pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan
“Deklarasi Bogor.”
B.6. Partai Politik dalam
Era Orde Baru
Dalam
masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret
1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap partai-partai politik. Pada
tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas
Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah
Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan massa pendukung dari Muhammadiyah,
HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM.
Selanjutnya
pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya
Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo,
IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan
Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu
kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang
kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol
dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi
warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977
terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya. Hingga Pemilihan Umum
1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas,
yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
selalu memenangkan Pemilu. Hal ini mengingat Golkar dijadikan mesin politik
oleh penguasa saat itu.
B.7. Latar belakang
lahirnya orde baru
Orde
baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan
masa Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai sebuah
masa baru setelah pemberontakan PKI tahun 1965. Orde baru lahir sebagai
upaya untuk :
· Mengoreksi
total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
· Penataan
kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
· Melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
· Menyusun
kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat
proses pembangunan bangsa.
Latar belakang lahirnya Orde Baru :
- Terjadinya
peristiwa Gerakan 30 September 1965.
- Keadaan
politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30
September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah
berlangsung lama.
- Keadaan
perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya
pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar
menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
- Reaksi
keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan
besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi
menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya dibubarkan
serta tokoh-tokohnya diadili.
- Kesatuan
aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk
Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya
lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk
menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
- Kesatuan
Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR
mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
· Pembubaran
PKI berserta Organisasi Massanya
· Pembersihan
Kabinet Dwikora
· Penurunan
Harga-harga barang.
- Upaya reshuffle kabinet
Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri
tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut
duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
- Wibawa
dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk
mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September
1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer
Luar Biasa(Mahmilub).
- Sidang
Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang
bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah
Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna
mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang
semakin kacau dan sulit dikendalikan.
Upaya menuju pemerintahan Orde Baru :
· Setelah
dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada kehidupan berbangsa
dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Penataan dilakukan di dalam
lingkungan lembaga tertinggi negara dan pemerintahan.
· Dikeluarkannya
Supersemar berdampak semakin besarnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah
karena Suharto berhasil memulihkan keamanan dan membubarkan PKI.
· Munculnya
konflik dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden sementara Soeharto menjadi
pelaksana pemerintahan.
· Konflik
Dualisme inilah yang membawa Suharto mencapai puncak kekuasaannya karena
akhirnya Sukarno mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan pemerintahan
kepada Suharto.
· Pada
tanggal 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk
mengukuhkan pengunduran diri Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai
pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS mencabut kekuasaan
pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Sukarno .
· 12 Maret 1967 Jendral Suharto dilantik sebagai Pejabat
Presiden Republik Indonesia. Peristiwa ini menandai
berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan dimulainya kekuasaan Orde Baru.
· Pada
Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai Presiden
Republik Indonesia.
B.8. Kehidupan Politik Masa
Orde Baru
Upaya untuk melaksanakan Orde Baru :
- Melakukan
pembaharuan menuju perubahan seluruh tatanan kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara.
- Menyusun
kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas nasional guna mempercepat proses
pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
- Menetapkan
Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen.
- Melaksanakan
Pemilu secara teratur serta penataan pada lembaga-lembaga negara.
Pelaksanaan Orde Baru :
- Awalnya
kehidupan demokrasi di Indonesia menunjukkan kemajuan.
- Perkembangannya,
kehidupan demokrasi di Indonesia tidak berbeda dengan masa
Demokrasi Terpimpin.
- Untuk
menjalankan Demokrasi Pancasila maka Indonesia memutuskan untuk
menganut sistem pemerintahan berdasarkan Trias Politika(dimana
terdapat tiga pemisahan kekuasaan di pemerintahan yaitu
Eksekutif,Yudikatif, Legislatif) tetapi itupun tidak
diperhatikan/diabaikan.
Langkah yang diambil pemerintah untuk penataan kehidupan
Politik :
A. Penataan
Politik Dalam Negeri
1. Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28
Juli 1966) adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan
nama Dwi Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan
pembangunan nasional. Program Kabinet AMPERA yang disebut Catur
Karya Kabinet AMPERA adalah sebagai berikut :
- Memperbaiki
kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
- Melaksanakan
pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
- Melaksanakan
politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
- Melanjutkan
perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968
menetapkan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah
kabinet yang baru dengan nama Kabinet Pembangunan dengan tugasnya
yang disebut dengan Pancakrida, yang meliputi :
- Penciptaan
stabilitas politik dan ekonomi
- Penyusunan dan pelaksanaan Rencana
Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama
- Pelaksanaan
Pemilihan Umum
- Pengikisan
habis sisa-sisa Gerakan 3o September
- Pembersihan aparatur negara di
pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.
2. Pembubaran PKI dan Organisasi masanya
Suharto
sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta
kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :
- Pembubaran PKI pada tanggal 12
Maret 1966 yang diperkuat dengan dikukuhkannya Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966.
- Dikeluarkan
pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
- Pada
tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yang dianggap
terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan muncul keraguan
bahwa mereka tidak hendak membantu presiden untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban.
3. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan
penyederhanakan jumlah partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu
sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya
kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan
program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu
:
- Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan
Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok
partai politik Islam)
- Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai
Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat
nasionalis).
- Golongan
Karya (Golkar)
4. Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil
melaksanakan pemilihan umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun
sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
1) Pemilu 1971
- Pejabat
negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para
pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta
pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
- Organisasai
politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah
ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
- Pemilu
1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR
dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
- Diikuti
oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi),
Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24
kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7
kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai
Murba dan Partai IPKI (tak satu
kursipun).
2) Pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah
bersama DPR mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai
penyederhanaan jumlah partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai
politik (PPP dan PDI) serta Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3
kontestan menghasilkan 232 kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi
untuk PDI.
3) Pemilu
1982
Pelaksanaan
Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei 1982. Hasilnya
perolehan suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar gagal memperoleh
kemenangan di Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan Golkar berhasil
merebut kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi
sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.
4) Pemilu
1987
Pemilu
tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Hasil dari Pemilu 1987
adalah :
- PPP
memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu
1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah
mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya
lambang partai dari kabah menjadi bintang.
- Sementara
Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
- PDI
memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai
hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5) Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9
Juni 1992 menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan
Golkar menurun dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62
kursi dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6) Pemilu
1997
Pemilu
keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
- Golkar
memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan
perolehan kursi 325 kursi.
- PPP mengalami peningkatan
perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan kursi 27 kursi.
- PDI mengalami kemerosotan
perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal ini disebabkan
karena adanya konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dan PDI
Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan
Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara
tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Kenyataannya pemilu
diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang
selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu
mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan
suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi
Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap
Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah
selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
5. Peran Ganda ABRI
Guna
menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi
ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran
ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya
pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI
dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka
mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya
didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
6. Pemasyarakatan P4
Pada
tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan Ekaprasetia
Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam
sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”
atau biasa dikenal sebagai P4.
Guna
mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara
menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan
dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi
Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan
nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini
rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan
Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh
pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan adanya himbauan pemerintah pada
tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas
tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga
Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem
sosial masyarakat Indonesia.
B. Penataan Politik Luar Negeri
Pada
masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia diupayakan kembali kepada
jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif. Untuk itu maka MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri
Indonesia. Dimana politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan kepentingan
nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta
keadilan.
1) Kembali menjadi anggota PBB
Indonesia
kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya desakan dari komisi bidang
pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap pemerintah Indonesia. Pada
tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa Indonesia harus kembali menjadi
anggota PBB dan badan-badan internasional lainnya dalam rangka menjawab
kepentingan nasional yang semakin mendesak. Keputusan untuk kembali ini
dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak manfaat yang diperoleh Indonesia
selama menjadi anggota PBB pada tahun 1950-1964. Indonesia secara resmi
akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak tanggal 28 Desember 1966.
Kembalinya
Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah negara Asia bahkan dari pihak
PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua
Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Kembalinya Indonesia menjadi
anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan pemulihan hubungan dengan sejumlah
negara seperti India, Filipina, Thailand, Australia, dan sejumlah negara
lainnya yang sempat remggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
2) Normalisasi hubungan dengan beberapa
negara
Sebelum
pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah memulihkan hubungan dengan
Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes Pakistan untuk Myanmar).
Pemerintah Indonesia menyampikan nota pengakuan terhadap
Republik Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang disampikan pada Perdana
Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun menyampikan nota
jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatic.
Normalisasi
hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakan perundingan di Bangkok
pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang menghasilkan perjanjian
Bangkok, yang berisi:
- Rakyat Sabah diberi kesempatan
menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan
mereka dalam Federasi Malaysia.
- Pemerintah
kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
- Tindakan permusuhan antara kedua
belah pihak akan dihentikan.
Peresmian
persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia oleh Adam Malik dan Tun Abdul
Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11 agustus 1966 dan
ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta Accord). Hal ini
dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di masing-masing negara..
3) Pendirian ASEAN(Association of South-East
Asian Nations)
Indonesia menjadi pemrakarsa didirikannya
organisasi ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967. Latar belakang didirikan
Organisasi ASEAN adalah adanya kebutuhan untuk menjalin hubungan kerja sama
dengan negara-negara secara regional dengan negara-negara yang ada di kawasan
Asia Tenggara.
Tujuan awal didirikan ASEAN adalah untuk
membendung perluasan paham komunisme setelah negara komunis Vietnam menyerang
Kamboja. Hubungan kerjasama yang terjalin adalah dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Adapun negara yang tergabung dalam ASEAN adalah Indonesia, Thailand,
Malysia, Singapura, dan Filipina.
B.9. Dampak Kebijakan
Politik dan Ekonomi masa Orde Baru
Dampak positif dari kebijakan politik
pemerintah Orba :
- Pemerintah mampu membangun pondasi
yang kuat bagi kekusaan lembaga kepresidenan yang membuat semakin kuatnya
peran negara dalam masyarakat.
- Situasi keamanan pada masa Orde
Baru relatif aman dan terjaga dengan baik karena pemerintah mampu
mengatasi semua tindakan dan sikap yang dianggap bertentangan dengan
Pancasila.
- Dilakukan peleburan partai
dimaksudkan agar pemerintah dapat mengontrol parpol.
Dampak negatif dari kebijakan politik
pemerintah Orba:
- Terbentuk pemerintahan orde baru
yang bersifat otoriter, dominatif, dan sentralistis.
- Otoritarianisme merambah segenap
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk kehidupan
politik yang sangat merugikan rakyat.
- Pemerintah Orde Baru gagal
memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik dan benar kepada rakyat
Indonesia. Golkar menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang
diinginkan, sementara 2 partai lainnya hanya sebagai boneka agar tercipta
citra sebagai negara demokrasi.
- Sistem perwakilan bersifat semu
bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah kekuasaan secara
sepihak. Dalam
setiap pemilhan presiden melalui MPR Suharto selalu terpilih.
- Demokratisasi
yang terbentuk didasarkan pada KKN(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)sehingga
banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak mengenal rakyat dan
daerah yang diwakilinya.
- Kebijakan politik teramat
birokratis, tidak demokratis, dan cenderung KKN.
- Dwifungsi ABRI terlalu mengakar
masuk ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan pada
bidang-bidang yang seharusnya masyarakat yang berperan besar terisi oleh
personel TNI dan Polri. Dunia bisnis tidak luput dari intervensi TNI/Polri.
- Kondisi
politik lebih payah dengan adanya upaya penegakan hukum yang sangat lemah.
Dimana hukum hanya diciptakan untuk keuntungan pemerintah yang berkuasa
sehingga tidak mampu mengadili para konglomerat yang telah menghabisi uang
rakyat.
Dampak Positif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
- Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan
hasilnyapun dapat terlihat secara konkrit.
- Indonesia mengubah
status dari negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi
kebutuhan beras sendiri (swasembada beras).
- Penurunan angka kemiskinan yang
diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.
- Penurunan angka kematian bayi dan
angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin meningkat.
Dampak Negatif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
- Kerusakan
serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam
- Perbedaan
ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam
masyarakat terasa semakin tajam.
- Terciptalah
kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial)
- Menimbulkan
konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme)
- Pembagunan
yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan
masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.
- Pembangunan
hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik,
ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
- Meskipun
pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental pembangunan ekonomi
sangat rapuh.
- Pembagunan
tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang
justru menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur,
dan Irian. Faktor inilahh yang selantunya ikut menjadi penyebab
terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir
tahun 1997.
Kelebihan
sistem Pemerintahan Orde Baru :
- perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS $70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
- sukses transmigrasi
- sukses KB
- sukses
memerangi buta huruf
- sukses
swasembada pangan
- pengangguran
minimum
- sukses
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- sukses
Gerakan Wajib Belajar
- sukses Gerakan Nasional Orang-Tua
Asuh
- sukses
keamanan dalam negeri
- Investor asing mau menanamkan
modal di Indonesia
- sukses
menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan
Sistem Pemerintahan Orde Baru :
- semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- pembangunan Indonesia yang
tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan
daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar
disedot ke pusat
- munculnya
rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua
- kecemburuan
antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
- bertambahnya
kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya
dan si miskin)
- kritik
dibungkam dan oposisi diharamkan
- kebebasan
pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang
dibreidel
- penggunaan
kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius" (petrus)
- tidak
ada rencana suksesi
C. Penutup
Dengan melihat keseluruhan materi pembahasan
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa politik hukum pada era Orde Lama dan Orde
Baru memiliki perbedaan. Pada era Orde Lama sejak Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang membubarkan konstituante lewat rumusan sebuah panitia
kecil yang terdiri dari: Djuanda, A.H. Nasution, Moh. Yamin, Ruslan Abdul Gani
dan Wirjono Prodjodikoro, beranggapan bahwa dasar hukum dari dekrit ini
berdasarkan doktrin staatsnoodrecht dan noodstaatsrechts yaitu hak darurat yang
dimiliki penguasa untuk mengeluarkan produk hukum yang menyimpang dari asas
perundang-undangan yang baik karena adanya keadaan yang memaksa dan
membahayakan keselamatan Negara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, serta
mengingat bahwa lembaga-lembaga Negara sebagaimana digariskan oleh UUD 1945
belum lengkap, maka Presiden Soekarno melakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Dikeluarkannya Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1999 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS);
2. Dikeluarkannya Penetapan
Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara;
3. Pembaharuan
susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960;
4. Penyusunan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 4
Tahun 1960 sekaligus pemberhentian dengan hormat Dewan Perwakilan Rakyat;
5. Penyusunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1960.
MPRS yang dibentuk oleh Soekarno kemudian
menetapkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No.
III Tahun 1963 yang jelas-jelas melanggar ketentuan pasal 7 UUD 1945. Jatuhnya
legitimasi Presiden Soekarno dalam memegang kekuasaan Negara ditandai oleh
peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia hingga
berakibat pembunuhan besar-besaran terhadap anggota Partai Komunis Indonesia di
berbagai daerah serta dikeluarkannya Supersemar yang pada hakekatnya merupakan
bentuk penyerahan kekuasaan kepada Soeharto.
Pada era Orde Baru dengan gagalnya Gerakan 30 September 1965 dan turunnya Soekarno dari kekuasaan menimbulkan suatu situasi baru (disebut Orde Baru), semboyan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen banyak dikemukakan pemerintah Orde Baru Pimpinan Soeharto yang lebih mengkonsentrasikan penyelenggaraan sistem pemerintahan dengan menitikberatkan pada aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Pada era ini pula mulai memasukkan hak-hak politik warga Negara dan munculnya konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) yang dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1975 yang membatasi organisasi peserta Pemilu, serta memberikan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas sekaligus penyaringan partai politik melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu pada tahun 1971 hingga partai-partai hanya terbagi kedalam golongan partai yang berbasis nasional, spiritual dan karya. Selain itu pemerintahan Orde Baru berusaha menciptakan single majority lewat eksistensi partai Golongan Karya.
Pada era Orde Baru dengan gagalnya Gerakan 30 September 1965 dan turunnya Soekarno dari kekuasaan menimbulkan suatu situasi baru (disebut Orde Baru), semboyan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen banyak dikemukakan pemerintah Orde Baru Pimpinan Soeharto yang lebih mengkonsentrasikan penyelenggaraan sistem pemerintahan dengan menitikberatkan pada aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Pada era ini pula mulai memasukkan hak-hak politik warga Negara dan munculnya konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi) yang dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1975 yang membatasi organisasi peserta Pemilu, serta memberikan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis massa luas sekaligus penyaringan partai politik melalui verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu pada tahun 1971 hingga partai-partai hanya terbagi kedalam golongan partai yang berbasis nasional, spiritual dan karya. Selain itu pemerintahan Orde Baru berusaha menciptakan single majority lewat eksistensi partai Golongan Karya.
Jadi yang menjadi perbedaan pada dua orde
tersebut adalah pada zaman Orde Lama MPRS mengangkat presiden seumur hidup,
sedangkan zaman Orde Baru presiden memaksa MPR untuk mengangkat seorang
presiden terus-terusan sampai-sampai presidennya merasa jadi raja absolute.